Kisah Abu Nawas Tipu Menipu yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Tipu Menipu.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Tipu Menipu ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Tipu Menipu ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Tipu Menipu

Kisah Abu Nawas Tipu Menipu
Ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.

Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan salat Dhuha. Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang santai.

Seusai salat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak.

“Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami.” kata Ahli Yoga.

“Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?” tanya Abu Nawas polos.

“Besok pagi.” kata Pendeta.

“Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok.” kata Abu Nawas menyanggupi.

Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing. Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal.

“Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian.” kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata, “Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga.”

“Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa.” kata Ahli Yoga.

“Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian.” kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.

“Aku tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun:” kata Pendeta.

“Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka.” kata Ahli Yoga.

“Bukankah aku yang engkau jadikan alat pencari derma Dan derma itu sekarang telah kutukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal.” kata Abu Nawas mulai merasa jengkel. Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi haknya.

Abu Nawas penasaran. la mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak.

Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.

“Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian.” kata Pendeta kepada Abu Nawas.

“Perjanjian apa?” tanya Abu Nawas.

“Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit.” Pendeta itu menjelaskan.

Abu Nawas setuju. la tidak memberi komentar apa-apa.

IVfalam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu
hinggatidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.

Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, “Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini.”

Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betulbetul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya.

“Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan temyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya.”

Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam. la bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun.

Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dai Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.

“Kalian tentu tahu Nabi Daud alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera
berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu.” kata Abu Nawas tanpa perasaa bersalah secuil pun.

Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain.

Kejengkelan Abu Nawas terobati.

Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Tipu Menipu, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Tipu Menipu dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Tipu Menipu, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.