Kisah Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan

Kisah Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan
Setiap bulan Ramadan, umat islam diwajibkan berpuasa, tak terkecuali Abu Nawas. Abunawas merupakan salah satu orang yang rajin berpuasa meskipun banyak teman-temannya yang tidak berpuasa di bulan tersebut.

Bagi temannya yang tidak berpuasa, mereka mencoba mengakali sehingga Abunawas tidak bisa berbuka puasa karenanya. Lewat kecerdikannya, akhirnya Abu Nawas berhasil makan.
Tuh kan Abu Nawas.

Simak Kisahnya.
Pada siang di bulan Ramadan, Abunawas didatangi oleh dua orang temannya yang tidak berpuasa. Mereka bersekongkol untuk ngerjai Abu Nawas.
Tibalah mereka di depan pintu rumah Abu Nawas. Setelah mengucapkan salam, tanpa basa basi lagi mereka mengajak Abu Nawas ngabuburit (mengisi waktu untuk menunggi berbuka puasa.

Sampailah mereka di warung nasi, dan teman-temannya membeli nasi untuk dibungkus. Abu Nawas mengira kalau teman-temannya sangat menghormati orang yang berpuasa meski mereka tidak puasa karena temannya tidak makan di warung tersebut, namun di bawa pulang.

Waktu Berbuka Puasa.
Setelah itu, mereka pergi meninggalkan warung tersebut dan sampailah di rumah salah satu temannya. Begitu tiba berbuka puasa, Abu Nawas berkata,
"Wah, sudah waktunya berbuka."
"Minum saja dulu biar batal puasamu," kata temannya.
Abu Nawas pun segera minum dan selanjutnya menunggu. Teman mereka bilang,
"Silahkan shalat dulu, nanti ketinggalan shalat maghrib," kata salah satu temannya.

Abu Nawas pun kemudian mengambil air wudhu dan menjalankan shalat maghrib. Namun apa yang terjadi, setelah shalat maghrib pun Abu Nawas belum bisa makan nasi karena temannya menyuruh agar mengaji Al Qur'an terlebih dahulu.
"Mengajilah Al Qur'an terlebih dahulu, mumpung perutmu masih kosong. Nanti kalau sudah kenyang kamu mengantuk," kata teman Abu Nawas.

Abu Nawas merasa jengkel, seakan dikerjai oleh teman-temannya. Meski begitu Abu Nawas nurut dan mengaji Al Qur'an.
Setelah mengaji, Abu Nawas malah diajak lomba tidur. Siapa yang mimpinya paling indah maka dia berhak menyantap makanan.
"Abu Nawas, sekarang mari kita lomba tidur, esok pagi siapa yang mimpinya paling indah dia bisa makan makanan ini," kata salah seorang temannya.

Lomba Mimpi Indah.
Abu Nawas mulai sadar kalau dirinya dikerjai teman-temannya.
Lomba tidur tersebut disanggupi oleh Abu Nawas dengan perasaan marah.
Pada esok paginya, mereka bertiga bangun. Salah satu temannya bercerita,
"Aku semalam mimpi indah sekali, mimpi punya mobil mewah, rumah mewah, pesawat pribadi dan punya uang banyak sekali."
"Mimpimu indah, tapi egois sekali," kata teman yang satunya.

Kemudian teman yang satunya lagi mencerikan mimpinya.
"Aku semalam bermimpi bahwa negeriku ini tidak punya hutang, infrastrukturnya bagus sekali, jalan-jalan yang mulus, pelabuhan-pelabuhan lancar, ongkos transportasi murah, rakyat sejahtera hingga aku tidak bertemu orang yang berhak menerima zakat."
"Wah, mimpimu hebat," kata temannya.
"Sekarang coba ceritakan mimpimu wahai Abu Nawas."

Abu Nawas bercerita,
"Mimpiku biasa saja. Semalam aku bermimpi bertemu Nabi Daud as, Nabi yang gemar berpuasa. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari begitu terus tiap waktu. Kemudian Nabi Daud as bertanya,
"Apakah engkau sudah berbuka wahai Abu Nawas?"
Saya jawab belum, kata Abu Nawas.
Kemudian Nabi Daud as menyuruh aku berbuka puasa dahulu. Kontan saja aku cekatan bangun, mengambil makanan yang sudah kalian belikan."

Mimpi Abu Nawas sangat disesali oelh kedua temannya.
Mereka kalah cerdik dengan akal Abu Nawas.
Niat untuk ngerjai, eh malah dikerjai Abu Nawas.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Lomba Mimpi di Bulan Ramadhan, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.