Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Hadiah Tebakan Jitu.
Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Hadiah Tebakan Jitu ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Hadiah Tebakan Jitu ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.
Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.
Cerita Abu Nawas Hadiah Tebakan Jitu
Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para
penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.
Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhirakhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas ingin tahu.
"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." kata Baginda.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba."
"Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?" tanya Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, "Tuanku yang mulia," lanjut Abu Nawas ’ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas."
Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"
"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.
"Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda heran.
"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." jawab Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.
Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."
Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.
Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Hadiah Tebakan Jitu, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Hadiah Tebakan Jitu dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.
Biografi Abu Nawas
Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.
Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Hadiah Tebakan Jitu, yang Anda baca di Atas.
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.
Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.