Kisah Abu Nawas Tipuan Sang Hakim yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Tipuan Sang Hakim.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Tipuan Sang Hakim ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Tipuan Sang Hakim ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Tipuan Sang Hakim

Kisah Abu Nawas Tipuan Sang Hakim
Memang Abu Nawas kalau diceritakan tidak akan ada habisnya. Abu Nawas tidak kehabisan akal dalam menghadapi berbagai macam masalah yang pelik sekalipun. Salah satu persoalan yang pelik tadi adalah ketika ia menghadapi seorang hakim yang licik dan zalim. Ia pun mampu menghadapi kelicikan dan kezaliman itu dengan kelicikan pula, hingga persoalan bisa selesai.

Berikut Kisahnya
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, ada seorang hakim yang baru saja diangkat. Hakim ini terkenal zalim, dan kezalimannya itu ditampakkan ketika ada seorang pemuda Mesir datang ke Baghdad untuk berdagang dengan membawa harta yang sangat banyak.

Pada suatu malam, pemuda ini bermimpi telah menikah dengan seorang wanita, yang mana wanitanya adalah anak dari seorang hakim dimana si pemuda membawa mahar (maskawin) yang sangat banyak. Mimpi tersebut lantas diceritakan ke banyak orang sehingga sampailah berita mimpi itu ke telinga sang hakim.

Hakim langsung saja mendatangi pemuda Mesir itu serta meminta mahar untuk anaknya. Tentu saja pemuda itu menolaknya karena pernikahannya hanya berdasarkan mimpi saja. Namun Sang Hakim tersebut tetap saja arogan dan memintanya. Sang Hakim bahkan merampas semua harta pemuda Mesir itu hingga membuat pemuda itu menjadi miskin, bahkan si pemuda menjaqdi pengemis. Untung saja tak lama setelah itu dia ditolong oleh seorang wanita tua.

Tidak terima dengan perlakuan Sang Hakim, wanita tua itu pun membawa pemuda Mesir kepada Abu Nawas untuk mengadu. Begitu mendapat pengaduan, Abunawas langsung saja mengambil tindakan. Ia mengajak semua murid yang diajarinya untuk datang malam hari dengan membawa kapak, cangkul, martil dan batu.

Dengan Arahan Abu Nawas, murid-muridnya pun langsung bergerak ke arah tuan hakim. Mereka seperti demonstran yang berteriak-teriak lalu menghancurkan rumah hakim itu sesuai dengan perintah. Melihat peristiwa itu, sang hakim pun keluar rumah dengan marah-marah dan bertanya,
"Siapa yang menyuruh kalian melakukan semua ini?"
Mereka pun menjawab," Guru kami, Syeikh Abu Nawas."

Melaksanakan Perintah Mimpi
Tidak terima dengan ulah murid-murid Abu Nawas, hakim itu melaporkan Abu Nawas ke Baginda Raja pada keesokan harinya. Pada pagi harinya, Abu Nawas dipanggil oleh Raja untuk menghadap.
"Wahai Abu Nawas, mengapa kamu merusak rumah hakim?" tanya Baginda.
"Wahai Tuanku, itu semua karena hamba bermimpi, dan dalam mimpi itu justru Tuan hakim sendiri yang menyuruh hamba untuk merusak rumahnya," jawab Abu Nawas.

Baginda Raja merasa aneh dengan jawaban itu, dan bertanya,
"Wahai Abu Nawas, hukum mana yang kamu pakai itu?"
"Dengan tenangnya Abu Nawas menjawab,
"Hamba memakai hukum yang juga dipakai Tuan hakim yang baru jadi ini, Baginda."

Mendengar penuturan yang singkat itu, sang hakim pun menjadi pusat pasi serta terdiam seribu bahasa.
"Wahai hakim, benarkah kamu juga mempunyai hukum itu?" tanya Baginda.
Sang Hakim hanya terdiam saja ditanya Baginda, sehingga Baginda Raja meminta penjelasan dari bau Nawas.
"Hai ABu Nawas, coba jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini?" tanya Baginda.

Abu Nawas lantas menyuruh masuk pemuda Mesir itu untuk memberikan kesaksian.
"Wahai Anak Mesir, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi sejal engkau datang ke negeri ini?" tanya Baginda.
Pemuda itu pun menceritakan penderitaan yang dialaminya akibat kezaliman Sang Hakim.

Setelah si pemuda selesai bercerita, Baginda Raja langsung murka dengan adanya kebobrokan sikap hakim yang baru saja diangkatnya itu. Baginda Raja lantas merampas semua harta sang hakim dan diberikannya kepada pemuda Mesir itu.

Wah, salut deh dengan Abu Nawas yang berani melawan ketika ada ketidakberesan di negerinya. Semoga saja di Indonesia ini ada orang-orang yang berani layaknya sikap Abu Nawas yang menentang kezaliman yang semakin merajalela di tingkat pemerintahan.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Tipuan Sang Hakim, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Tipuan Sang Hakim dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Tipuan Sang Hakim, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.