Kisah Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan

Kisah Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan
Kecerdikan Abu Nawas memang sudah tak diragukan lagi, bahkan ketika raja Harun Ar-Rasyid menghadapi masalah, tak segan-segan Abu Nawas dipanggilnya untuk menyelesaikan maslah.
Nah, kali ini Abu Nawas mendapatkan tugas untuk menghitung kematian.
Bagaimana cara Abu Nawas menghitungnya?

Berikut Kisahnya.
Suatu hari, di negeri Seribu Satu Malam, Baghdad, digelarlah acara hajatan besar. Sang Raja Harun Ar-Rasyid pun berniat merayakan pesta ulang tahun kerajaan bersama-sama dengan seluruh rakyatnya. Pada hari yang telah ditunggu tiba, rakyat Baghdad dikumpulkan di depan pendapa istana.

Raja Harun sang penguasa berdiri dan berkata,
"Wahai rakyatku yang tercinta, hari ini kita mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Aku akan memberi hadiah kepada para fakir miskin, aku juga akan memberikan pengampunan kepada para tahanan di penjara dengan mengurangi hukuman menjadi setengah dari sisa hukumannya," seru baginda kepada rakyatnya.

Memberi Keringanan Hukuman pada Tahanan.
Mendengar ucapan sang raja, tentu saja rakyat Baghdad bersuka ria. Mereka segera berpesta bersama dan menyantap aneka makanan yang telah disediakan. Tak berapa lama kemudian, para pengawal istana membagi-bagikan hadiah kepada fakir miskin.

Setelah dipastikan seluruh rakyatnya yang fakir miskin mendapatkan hadiah, raja pun memanggil para tahanan
Tahanan pertama yang mendapatkan kesempatan adalah bernama Sofyan (maaf bila ada kesamaan nama).
"Sofyan, berapa tahun hukumanmu?" tanya baginda.
"Dua tahun Baginda," jawab Sofyan.
"Sudah berapa tahun yang kamu jalani?" tanya baginda lagi.
"Satu tahun Baginda," jawab Sofyan.
"Kalau begitu, sisa hukumanmu yang satu tahun aku kurangi menjadi setengah tahun sehingga hukumanmu tinggal 6 bulan saja," tegas baginda.

Selanjutnya, dipanggillah Ali.
"Berapa tahun hukumanmu Ali?" tanya baginda.
Dengan nada yang sedih, Ali menjawab,
"Mohon ampun Baginda, hamba dihukum seumur hidup," jawab Ali.

Mendengar jawaban Ali tersebut, Baginda menjadi bingung harus menjawab apa untuk mengurangi hukuman Ali.
Di tengah kebingungannya, Raja yang terkenal bijaksana ini teringat dengan Abu Nawas. Akhirnya, dipanggillah Abu Nawas.
Tak berapa lama kemudian, Abu Nawas yang turut serta dalam pesta ulang tahun kerajaan menghampiri sang Raja yang sedang kebingungan itu.

"Abu Nawas, aku ada masalah mengenai hadiah pengampunan bagi Ali. Dia dihukum seumur hidup sedangkan aku berjanji akan memberikan pengampunan setengah dari sisa hukumannya. Padahal aku tidak tahu sampai umur berapa Ali akan hidup. Sekarang aku minta nasehatmu, bagaimana caranya memberi pengampunan kepada Ali dari sisa hukumannya," jelas Raja.

Mendengar penuturan rajanya, Abunawas pun ikut bingung. Dia berpikir, apa bisa mengurangi umur seseorang, padahal dia sendiri tidak tahu sampai kapan umurnya.
"Hamba minta waktu Baginda," ujar Abunawas.

Abu Nawas Mendapat Sekantung Keping Emas.
Mendengar permintaan Abu Nawas, Raja pun akhirnya memberikan kesempatan kepada Abu Nawas untuk berpikir. Raja hanya memberi waktu sehari semalam saja, tidak boleh lebih. Jadi, besok pagi Abu Nawas harus memberikan jawabannya.

Sesampainya di rumah, Abu Nawas pun berpikir keras untuk menemukan pemecahan masalah tersebut. Dia tidak bisa tidur karena selalu kepikiran akan hal itu. Namun, selang beberapa waktu, tampaklah senyuman di bibir Abu Nawas, pertanda solusi telah ditemukan.
Abu Nawas pun malam itu segera masuk ke kamar untuk tidur dengan nyenyak.

Pada pagi-pagi sekali, Abu Nawas telah bangun.
Setelah mandi dan sarapan, dia pun pergi menghadap raja setelah berpamitan dengan istrinya.

"Hamba sudah mendapatkan cara untuk memecahkan masalah si Ali, Baginda.
Begini Baginda, sebaiknya si Ali ini berada di luar penjara dan bisa bebas selama satu hari, lalu pada esoknya, dia dimasukkan lagi ke dalam penjara selama satu hari pula. Lusa juga demikian, sehari bebas, sehari dipenjara, begitu berlangsungterus selama umur si Ali itu," jelas Abu Nawas.

Baginda Raja tersenyum.
"Engkau memang pandai Abu Nawas. Kalau begitu, kamu juga akan aku beri hadiah, yaitu sekantung keping emas," ujar sang Raja.
Setelah itu, Abu Nawas pulang dengan wajah yang ceria.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Menghitung Kematian Tahanan, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.