Kisah Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja

Kisah Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja
Jika tak dapat berkelit dari hukuman, maka bukan Abu Nawas namanya. Ia selalu memiliki banyak cara dan alasan agar lolos dari hukuman.

Dengan tenangnya Abu Nawas ini menduduki singgasana raja, bahkan ia sampai menjual harga diri rajanya agar lolos dari hukuman.

Berikut Kisahnya.
Kecerdikan akal dan pikiran Abu Nawas sudah tersebar di seluruh penjuru kerajaan yang dipimpin oleh Raja Harun Ar-Rasyid. Bahkan raja sendiri pun mengakui kehebatan Abu Nawas hingga mengajaknya tinggal di istana.

Raja Harun telah memberikan kebebasan kepada Abu Nawas untuk keluar masuk istana tanpa prosedur yang berbelit. Dengan hadirnya Abu Nawas di istana, maka raja dapat setiap saat meminta pertimbangan, pendapat kepada Abunawas dalam setiap keputusannya, sebagai penasehat kerajaan.

Namun, tampaknya kali ini Abu Nawas mulai bosan tinggal di istana, ia tidak terbiasa dengan hidup berfoya-foya. Meskipun semua yang diinginkan selalu tersedia, namun Abu Nawas memilih ingin tinggal di luar istana, ia rindu sekali untuk menggarap sawah dan merawat hewan ternaknya.

Dari sinilah kenudian muncul dalam pikiran Abu Nawas untuk keluar dari istana. Diputarlah otaknya untuk mencari alasan agar ia bisa keluar.

Menduduki Singgasana Raja.
Setelah semalamam dipikirkan, Abu Nawas menemukan cara jitu untuk keluar dari lingkungan istana.
Pada keesokan harinya, ia sengaja bangun pagi-pagi sekali kemudian pergi ke ruang utama istana. Saat itu suasana masih sepi, hanya terdapat beberapa pengawal. Raja Harun sendiri masih terbaring di tempat tidurnya.

Pada saat Abu Nawas itulah Abu Nawas mendekati singgasana raja dan mendudukinya. Tak hanya itu saja, Abu Nawas juga mengangkat kaki dan menyilangkan salah satu kakinya seolah-olah dialah rajanya.

Melihat kejadian itu, beberapa pengawal kerjaaan terpaksa mengangkap Abu Nawas. Mereka menilai bahwa siapapun tidak berhak duduk di singgasana raja kecuali Raja Harun sendiri.
Barang siapa yang menempati tahta raja, termasuk dalam kejahatan yang besar dan hukuman mati yang diberikan.

Para pengawal menangkapAbu Nawas kemudian menyeretnya turun dari tahta dan memukulinya.

Mendengar teriakan Abu Nawas yang kesakitan, raja menjadi terbangun dan menghampirinya.
'Wahai pengawal, apa yang kalian lakukan?" tanya raja.
"Ampun Baginda, Abu Nawas telah lancang duduk di singgasana Paduka, kami terpaksa menyeret dan memukulinya," jawab salah seorang pengawal.

Sesaat setelah itu, Abu Nawas tiba-tiba saja menangis. Tangisannya sengaja ia buat kencang sekali sehingga banyak menyita perhatian penduduk istana lainnya.
"Benarkah yang dikatakan pengawal itu wahai Abu Nawas?" kata Raja Harun.
"Benar Paduka," jawan Abu Nawas.

Tujuan Keluar Istana Tercapai.
Raja sangat terkejut dengan penuturan Abu Nawas itu. jika sesuai peraturan yang ada, Abu Nawas akan dikenai hukuman mati. Namun, Raja Harun tak sampai hati melaksanakannya mengingat begitu banyak jasa yang diberikan Abu Nawas kepada kerajaan.

"Sudahlah, tak usah menangis. Jangan khawatir, aku tidak akan menghukummu. Cepat hapus air matamu," ucap sanga raja.
"Wahai Baginda, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis, aku menangis karena kasihan terhadap Paduka," kata Abu Nawas yang membuat raja tercenganng oleh ucapan itu.
'Engkau mengasihaniku?" tanya Raja Harun.
"Mengapa engkau harus menagisiku?" kata raja lagi.

Harga Diri Raja Tercoreng.
Abu Nawas menjawab,
"Wahai raja, aku cuma duduk di tahtamu sekali, tapi mereka telah memukuliku dengan begitu keras. Apalagi paduka, paduka telah menduduki tahta selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa yang akan paduka terima? Aku menangis karena memikirkan nasib paduka yang malang," jawab Abu Nawas.

Jawaban itu membuat raja tak bisa berbuat apa-apa.
Ia tak menyangka Abu Nawas menjual harga dirinya di depan banyak pengawal. Oleh karena itu, Raja Harun hanya menghukum Abu Nawas untuk dikeluarkan dari istana.
"Baiklah jika demikian, mulai detik ini kamu harus keluar dari sitanaku," kata raja sedikit geram.

"Terima kasih paduka, memang itulah yang saya kehendaki," balas Abu Nawas sambil menyalami Raja Harun untuk kemudian pamit keluar dari istana.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Menduduki Singgasana Raja, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.