Kisah Abu Nawas Memindahkan Istana yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Memindahkan Istana.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Memindahkan Istana ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Memindahkan Istana ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Memindahkan Istana

kisah abu nawas memindahkan istana
Baginda Raja Harun al-Rasyid baru saja membaca sebuah kitab tentang kehebatan Raja Nabi Sulaiman yang mampu memerintahkan para jin untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya.

Tiba-tiba saja Baginda merasa tertarik.

Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama dengan Raja Sulaiman itu.
Secara tiba-tiba saja baginda ingin agar istananya dipindahkan ke atas gunung agar lebih leluasa melihat pemandangan alam sekitar.

Baginda pun berfikir sejenak, bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan oleh Abu Nawas yang terkenal amat cerdik di negerinya.
Tanpa membuang waktu, Abu Nawas segera dipanggil ke istana menghadap Baginda Raja Harun al-Rasyid.

Setelah menghadap, Baginda Raja berkata,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya baginda.

Abu Nawas diluar dugaan tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ia berfikier sejenak hingga keningnya berkerut.
Dalam hatinya ia berfikir kalau ia tidak mungkin menolak permintaan Baginda, kecuali memang ingin dihukum.

Setelah berfikir, Abu Nawas akhirnya terpaksa menyanggupi permintaan Baginda yang merupakan proyek raksasa itu.
Ada lagi permintaan dari Baginda, bahwa pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.

Abu Nawas pun pulang dengan hati menggerutu.
Setiap malam ia hanya berteman dengan bintang dan rembulan saja.
Hari demi hari dilewati dengan kegundahan dengan proyek yang mustahil itu.

Tiada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari itu.
tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Ya memang Imam Abu Nawas seorang yang cerdik lagi pandai.

Keesokan harinya Abu Nawas menuju ke istana.
Ia menghadap Baginda untukmembahasa pemindahan istana dan dengan senang hati Baginda akan mendengarkan apa yang diinginkan Abu Nawas.

"Ampun Tuanku, hamba datang kesini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti," kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?" tanya Baginda.
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada hari raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang 20 puluh hari lagi." jawab Abu Nawas.

"Kalau hanya itu usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda yang mulia." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih 10 ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu aku terima." kata Baginda yang menyetujui usul Abu Nawas.

Abu Nawas pun pulang dengan perasaan riang gembira.
Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, toh nanti bila waktunya tiba ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda ke atas gunung.
Jangankan hanya ke puncak gunung, ke dasar samudra pun Abu Nawas sanggupi.

Berita itu mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Hampir semua orang berharap cemas, tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin akan kemampuan Abu Nawas, karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang diberikan kepadanya.
Namun ada juga yang merasa ragu akan keberhasilan Abu Nawas kali ini.

Saat yang dinantikan akhirnya tiba juga.
Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan shalat Idul Qurban.
Dan seusai shalat, 10 sapi sumbangan dari Baginda disembelih lalu dimasak kemudian dibagikan kepada fakir miskin.

Nah kali ini giliran Abu Nawas yang harus melakukan tugas berat itu.
Abu Nawas pun berjalan menuju istana dan diikuti oleh rakyat.
Sesampainya di depan istana, Abu Nawas bertanya kepada Baginda.

"Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?" tanya Abu Nawas.
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.

Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana.
Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu.
Akhirnya Baginda Raja tidak sabar juga.

"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." jwab Abu Nawas.
"Apa maksudmu sudah siap sejak tadi?
Kalau engkau sudah siap, lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda dengan heran.

"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba.
Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunug sesuai permintaan Padukan." jelas Abu Nawas.

Baginda Raja yang mendengar penjelasan Abu Nawas ini merasa terpana.
Dalam hati di berfikir bahwa tiada mungkin seorang manusia pun di muka bumi ini yang menyamai kejayaan Raja Sulaiman.
Betapa cerdiknya si Abu Nawas ini dengan alasan yang masuk akal.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Memindahkan Istana, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Memindahkan Istana dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Memindahkan Istana, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.