Kisah Abu Nawas Membalas Tipuan Raja yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Membalas Tipuan Raja.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Membalas Tipuan Raja ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Membalas Tipuan Raja ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Membalas Tipuan Raja

Kisah Abu Nawas Membalas Tipuan Raja
Sudah menjadi takdir kali ya si Abu Nawas ini cerdik dan pandai, bahkan sekalipun menipu kok malah diberi hadiah oleh rajanya.

Seperti kisah abunawas lucu dan kocak berikut ini.

Abu Nawas melakukan protes karena hadiah yang akan dijanjikan oelh rajanya tidak kunjung diberikan. Akhirnya Abu Nawas membuat siasat agar dia diberi hadiah sebagaimana mestinya.

Kisahnya.
Pada suatu malam yang sangat dingin, Abu Nawas diundang oleh Raja Harun Ar-Rasyid untuk menemaninya mengobrol. Nah pada saat obrolan mereka tentang rasa dingin, tiba-tiba sanga raja bertanya kepada Abu Nawas,
"Wahai Abu Nawas, maukah engkau telanjang bulat di atas atap malam ini?"
"Tergantung imbalannya saja, Paduka," jawab Abu Nawas.
"Baiklah, engkau akan aku beri 500 dirham bila mau melaksanakannya," jelas raja.

Dengan imbalan sebesar itu, Abu Nawas segera saja mencopoti bajunya satu persatu mulai dari pakaian atas hingga pakaian bawah. Setelah seluruh bagian bajunya dilepas, selanjutnya Abu Nawas naik emnuju atas atap dan duduk-duduk di sana.
Rasa dingin sangat menusuk kulit Abu Nawas semalaman, dan baru menjelang subuh Abu Nawas turun ke bawah.

"Wahai Paduka, mana uang yang Paduka janjikan kepadaku?" tanya Abu Nawas.
"Sabar dulu wahai Abu Nawas. Begini ya semalaman apa yang telah engkau lihat?" tanya raja.
"Hamba tidak melihat apa-apa Tuanku. Hanya seberkas cahaya yang nampak dari kejauhan saja," jawab Abu Nawas.
"Kalau begitu, engkau tidak berhak mendapatkan imbalan karena engkau telah dihangati oleh cahaya itu," ujar raja.
"Loh, bagaimana bisa begitu Paduka, hamba semalam hampir mati kedinginan kok," protes Abu Nawas.

Abu Nawas Protes.
Akan tetapi sang raja tidak mau mendengar protes dari Abu Nawas, bahkan sang raja menyuruh Abu Nawas untuk segera pulang ke rumahnya. Dengan perasaan yang masih kedinginan disertai rasa sedih, akhirnya Abu Nawas meninggalkan istana menuju rumahnya.

Dalam perjalanan, Abu Nawas berkata dalam hati,
"Bagaimana mungkin Baginda ini ingkar janji. Baiklah, aku harus mendapatkan hakku yang tadi."

Setelah selang beberapa hari, Abu Nawas menghadap Raja Harun Ar-Rasyid.
Abu Nawas mengundang rajanya untuk jamuan makan-makan di rumahnya. Raja Harun pun menerima undangan tersebut.
Pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah muncul di istana dengan tujuan menjemput rajanya bersama dengan rombongan kerajaan.

Di tengah perjalanan, Abu Nawas minta izin kepada rajanya untuk mendahului mereka dengan alasan ada hal yang harus dikerjakan, terutama meyiapkan hal penyambutan meriah kepada rajanya,

Tidak beberapa lama kemudian, Abu Nawas sudah berada di tempat pesta.
"Ayo, cepatlah dirikan kemah," teriak Abu Nawas kepada murid-muridnya.
Abu Nawas rupanya menyuruh murid-muridnya agar keadaan menjadi siap dalam penyambutan nanti. Ada pula yang menyalakan api di bawah poho besar. Kemudian ada periuk-periuk yang telah diisi dengan daging dan digantungkan di dahan-dahan pohon itu.

Raja Harun Ar-Rasyid dan rombongan datang.
Setelah sejenak mengobrol, Abu Nawas mulai bercerita macam-macam agar rajanya emnjadi senang. Karena keasyikan mengobrol itu, Raja Harun terlihat memegangi perut pertanda rasa lapar sudah menjaar di tubuhnya.

"Wahai Abu Nawas, mana makanannya?" tanya Raja.
"Sabar Baginda, apinya lamban sekali panasnya, padahal sejak dari tadi pagi dinyalakan," jawab Abu Nawas.
"Api jenis apa itu kok lamban sekali panasnya. Coba antar aku ke dapur," ujar Raja.

Setelah tiba di dapur, sang Raja merasa sangat heran karena ada api namun tidak ada makanan yang sedang di masak.
"mana makanannya?" tanya Raja.
"Itu baginda, ada di atas dahan pohon," jawab Abu Nawas sambil menunjuk pohon.
"Pantas saja, bagaimana mungkin bisa matang kalau yang dimasak di atas sana sedangkan apinya ada dibawah, terlalu jauh jaraknya," ujar Raja keheranan.
"Sama saja Baginda dengan kasusku beberapa hari yang lalu, bagaimana tubuhku ini dihangatkan oleh cahaya yang berada di kejauhan," Ucap Abu nawas menjelaskan.

Sang Raja Harun Ar-Rasyid langsung saj tertawa mendengar perkataan Abu Nawas tersebut. Ia kemudian memerintahkan salah seorang pengawalnya untuk memberikan hadiah berlipat 2 kali dari yang pernah ia janjikan kepada Abu Nawas.

Selamat ya Abu Nawas, 1000 dirham lalu buat apa tuh.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Membalas Tipuan Raja, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Membalas Tipuan Raja dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Membalas Tipuan Raja, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.