Kisah Abu Nawas Ketenangan Hati yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Ketenangan Hati.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Ketenangan Hati ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Ketenangan Hati ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Ketenangan Hati

Kisah Abu Nawas Ketenangan Hati
Sudah lama Abu nawas tidak dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda. Abu nawas juga sudah lama tidak muncul di kedai teh. Kawan-kawan Abunawas banyak yang merasa kurang bergairah tanpa kehadiran Abu nawas. Tentu saja keadaan kedai tak semarak karena Abu nawas si pemicu tawa tidak ada.

Suatu hari ada seorang laki-laki setengah baya ke kedai teh menanyakan Abu nawas. la mengeluh bahwa ia tidak menemukan jalan keluar dari rnasalah pelik yang dihadapi.

Salah seorang teman Abunawas ingin mencoba menolong.

“Cobalah utarakan kesulitanmu kepadaku barang-kali aku bisa membantu.” kata kawan Abu nawas.

“Baiklah. Aku mempunyai rumah yang amat sempit. Sedangkan aku tinggal bersama istri dan kedelapan anak-anakku. Rumah itu kami rasakan terlalu sempit sehingga kami tidak merasa bahagia.” kata orang itu membeberkan kesulitannya.

Kawan Abu nawas tidak mampu memberikan jalan keluar, juga yang lainnya. Sehingga mereka menyarankan agar orang itu pergi menemui Abu nawas di rumahnya saja.

Orang itu pun pergi ke rumah Abunawas. Dan kebetulan Abu Nawas sedang mengaji. Setelah mengutarakan kesulitan yang sedang dialami, Abu nawas bertanya kepada orang itu. “Punyakah engkau seekor domba?”

“Tidak tetapi aku mampu membelinya.” jawab orang itu.

“Kalau begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu.” Abu nawas menyarankan.

Orang itu tidak membantah. la langsung membeli seekor domba seperti yang disarankan Abunawas.

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. “Wahai Abu nawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku bertambah sesak. Aku dan keluargaku merasa segala sesuatu menjadi lebih buruk dibandingkan sebelum tinggal bersama domba.” kata orang itu mengeluh.

“Kalau begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di dalam rumahmu:” kata Abu nawas.

Orang itu tidak membantah. la langsung membeli beberapa ekor unggas yang kemudian dimasukkan ke dalam rumahnya. Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi ke rumah Abu Nawas. “Wahai Abu Nawas,aku telah melaksanakan saran-saranmu dengan menambah penghuni rumahku dengan beberapa ekor unggas. Namun begitu aku dan keluargaku semakin tidak betah tinggal di rumah yang makin banyak penghuninya. Kami bertambah merasa tersiksa.” kata orang itu dengan wajah yang semakin muram.

“Kalau begitu belilah seekor anak unta dan peliharalah di dalam rumahmu.”kata Abu Nawas menyarankan
Orang itu tidak membantah. la langsung ke pasar hewan membeli seekor anak unta untuk dipelihara di dalam rumahnya.

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. la berkata, “Wahai Abu Nawas, tahukah engkau bahwa keadaan di dalam rumahku sekarang hampir seperti neraka. Semuanya berubah menjadi lebih mengerikan dari pada hari-hari sebelumnya. Wahai Abu Nawas, kami sudah tidak tahan tinggal serumah dengan binatang-binatang itu.” kata orang itu putus asa.

“Baiklah, kalau kalian sudah merasa tidak tahan maka juallah anak unta itu.” kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. la langsung menjual anak unta yang baru dibelinya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu “Bagaimana keadaan kalian sekarang?” Abu Nawas bertanya.

“Keadaannya sekarang lebih baik karena anak unta itu sudah tidak lagi tinggal disini.” kata orang itu tersenyum.

“Baiklah, kalau begitu sekarang juallah unggas-unggasmu.” kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. la langsung menjual unggas-unggasnya. Beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu.

“Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?” Abu Nawas bertanya.

“Keadaan sekarang lebih menyenangkan karena unggas-unggas itu sudah tidak tinggal bersama kami.” kata orang itu dengan wajah ceria.

“Baiklah kalau begitu sekarang juallah domba itu.” kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. Dengan senang hati ia langsung menjual dombanya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas bertamu ke rumah orang itu. la bertanya, “Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?”

“Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama
kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu hai Abu Nawas.” kata orang itu dengan wajah berseri-seri.

“Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan maka Tuhan akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiranmu.” kata Abu Nawas menjelaskan.

Dan sebelum Abu Nawas pulang, ia bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau sering berdoa ?”

“Ya.” jawab orang itu.

“Ketahuilah bahwa doa seorang hamba tidak mesti diterima oleh Allah karena manakala Allah membuka pintu pemahaman kepada engkau ketika Dia tidak memberi engkau, maka ketiadaan pemberian itu merupakan pemberian yang sebenarnya.”

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Ketenangan Hati, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Ketenangan Hati dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Ketenangan Hati, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.