Kisah Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam yang Jenaka dan Inspiratif

Dongeng kumpulan kisah abu nawas kali ini akan membagikan tentang cerita lucu jenaka yang berjudul Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam.

Perlu diketahui, bahwa Hikayat Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam ini perlu Anda baca karena selain dikemas dengan nuansa yang lucu dan menggugah gelak tawa, sering kali dongeng Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam ini, mengandung poin-poin yang inspiratif dan berguna untuk kehidupan.

Langsung saja.... Simak kisahnya di bawah ini.

Cerita Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam

Kisah Abu Nawas Disuruh Mencium Pantan Ayam
Seperti kita ketahui bersama bahwa Abu Nawas ini cerdik sekali sehingga meskipun dijahili orang, sekalipun itu raja, masih saja bisa membela diri dengan kata-katanya. Seperti Raja Harun yang mencoba menjebak Abu Nawas dengan ayam panggang yang lezat, Abu Nawas kembali sukses menghindar dan akhirnya malah sang raja yang merasa malu di depan para tamu undangan.

Simak Kisahnya
Pada suatu hari Raja Harun Ar-Rasyid sedang galau dengan sikap Abu Nawas. Beberapa kali Abu Nawas telah membuatnya malu di depan para pejabat kerajaan. Berlatar belakang dendam inilah akhirnya Raja hendak membuat jebakan terhadap Abu Nawas. Jika Abu Nawas gagal menghadapi jebakan tersebut, maka hukuman akan diberikan kepadanya.

Maka dipanggillah Abu Nawas untuk menghadap Raja Harun Ar-Rasyid. Setelah melewati beberapa prosedur, sampai juga Abu Nawas di istana kerajaan. Sang raja lalu memulai pertanyaannya,
"Wahai Abu Nawas, di depan mejaku itu ada sepanggang daging ayam yang lezat dan enak dilahap, tolong segera ambilkan."

Abu Nawas tampak bingung dengan perintah tersebut, karena tak biasanya dia disuruh mengambilkan makanan raja.
"Mungkin raja ingin menjebakku, aku harus waspada," kata Abu Nawas dalam hati.

Mendapat Petunjuk yang Aneh
Abu Nawas pun akhirnya menuruti perintah itu. Setelah mengambil ayam panggang sang raja, Abu Nawas kemudian memberikannya kepada raja. Namun, sang raja belum langsung menerimanya, ia bertanya lagi,
"Abu Nawas, di tangan kamu ada sepotong ayam panggang lezat, silahkan dinikmati."

Begitu Abu Nawas hendak menyantap ayam panggang tersebut, tiba-tiba raja berkata lagi,
"Tapi ingat Abu Nawas, dengarkan dulu petunjuknya. Jika kamu memotong paha ayam itu, maka aku akan memotong pahamu dan jika kamu memotong dada ayam itu, maka aku akan memotong dadamu. Tidak hanya itu saja, jika kamu memotong dan memakan kepala ayam itu, maka aku akan memotong kepalamu. Akan tetapi kalau kamu hanya mendiamkan saja ayam panggang itu, akibatnya kamu akan aku gantung."

Abu Nawas merasa bingung dengan petunjuk yang dititahkan rajanya itu. Dalam kebingungannya, ia semakin yakin jika hal itu hanya akal-akalan Raja Harun saja demi untuk menghukumnya. Tidak hanya ABu Nawas saja yang tegang, tapi juga semua pejabat kerajaan yang hadir di istana tampak tegang pula. Mereka hanya bisa menebak dalam hati tentang maksud dari perintah rajanya itu.

Hampir sepuluh menit lamanya Abu Nawas hanya membolak-balikkan ayam panggang itu. Sejenak suasana menjadi hening. Kemudian Abu Nawas mulai mendekatkan ayam panggang itu tepat di indera penciumannya.

Para hadirin yang datang atas undangan raja mulai bingung dan tidak mengerti apa yang dilakukan Abu Nawas. Kemudian terlihat Abu Nawas mendekatkan indera penciumannya tepat di bagian pantat daging ayam bakar yang kelihatan sangat lezat itu. Beberapa menit kemudian ia mencium bagian panta ayam bakar itu.

Raja Merasa Malu
Setelah selesai mencium pantat ayam bakar itu, kemudian Abu Nawas berkata,
"Jika saya harus memotong paha ayam ini, maka Baginda akan memotong pahaku, jika saya harus memotong dada ayam ini, maka Baginda akan memotong dadaku, jika saya harus memakan dan memotong kepala ayam ini, Baginda akan memotong kepalaku, tetapi coba lihat, yang saya lakukan adalah mencium pantat ayam ini," kata Abu Nawas.

"Apa maksudmu, wahai Abu Nawas," tanya Baginda.
"Maksud saya adlah kalau saya melakukan demikian maka Baginda juga akan membalasnya demikian, layaknya ayam ini. Nah, saya hanya mencium pantat ayam panggang ini saja, maka Baginda juga harus mencium pantat ayam panggang ini pula," jelas Abu Nawas.

Sontak saja penjelasan Abu Nawas itu membuat suasana yang tegang menjadi tampak tak menentu. Para pejabat yang hadir menahan tawa, tetapi ragu-ragu karena takut dihukum raja. Sementara itu, raja yang mendengar ucapan Abu Nawas mulai memerah mukanya. Raja tampak malu untuk kesekian kalinya. Untuk menutupi rasa malunya itu, beliau memerintahkan Abu Nawas untuk pulang dan membawa pergi ayam panggang yang lezat itu.

"Wahai Abu Nawas, cepat pulanglah, jangan sampai aku berubah pikiran," kata raja.

Setibanya di rumah, ia mengundang beberapa tetangganya untuk berpesta ayam panggang. Untuk kesekian kalinya Abu Nawas sukses mempermalukan Raja Harun Ar-Rasyid di depan para pejabat kerajaan.

Itulah cerita singkat humor sufi dari Hikayat Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam, semoga dengan adanya kisah jenaka dari Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam dapat menghibur Anda, juga memberi memberi inspirasi dalam kehidupan kita.

Biografi Abu Nawas

Bagi masyarakat muslim Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas terkenal akan kelihaian dan kecerdikannya dalam melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Ia sering ditantang oleh raja harun al rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, lucu, jenaka, inspiratif, beresiko atau bahkan tidak mungkin terjadi seperti Kisah Abu Nawas Disuruh Mencium Pantat Ayam, yang Anda baca di Atas.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.

Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.

Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.